A LUTA CONTINUA!

Proclamação da RENETIL 20 de Junho de 1988
RESISTENCIA NACIONAL DOS ESTUDANTES DE TIMOR LESTE
Kria Sociedade nebe kritika, civika no soberana Formasaun Cidadania Hametin instituisaun estadu Kontrola no promove desenvolvimentu social

20 Junho 1988
Fundadores
Kongreso
Historia Congresso Estrutura Document
Hilmar Farid
“Renetil bagi saya bukan sekedar organisai, tapi dia adalah sebuah komitment, dia adalah sebuah senar" - HILMAR FARID (Gerakan Solidaritas untuk Timor).
Fernando La Sama
"prepara elementus profisionais ho konsiensia revolusionaria para rekonstrusaun nasional. Revolusionario ho sentidu katak anti korupsaun, anti nepotismo, anti buat ida dehan katak KKN, servi lolos povu tuir saida mak povu nia hakarak" (AMRT - Arquivo & Museu da Resistência Timorense)
Fernando Lasama Miguel Manetelu Jose Neves Samalarua Francisco JMB Belo

terça-feira, 2 de novembro de 2010

Asmara Nababan: "Saat Bagi Kita Untuk Membayar Hutang Kepada Rakyat Timor-Leste, Khususnya Para Korban"

)* Asmara Nababan

Adalah satu kehormatan yang besar bagi saya untuk menghadiri acara yang amat istimewa ini, yaitu perayaan dasawarsa pertama “Saat Menentukan” ketika rakyat Timor-Leste mengambil keputusan untuk mengakhiri pendudukan Indonesia. Keputusan untuk mengakhiri penindasan tak kenal henti rezim militer Soeharto terhadap bangsa. Tamatnya rezim Soeharto dan fajar demokrasi di Indonesia membuka kesempatan bagi rakyat Timor-Leste untuk akhirnya bisa memutuskan sendiri nasibnya. Keputusan politik ini adalah final, diterima dan dihormati oleh Komunitas Internasional, termasuk Indonesia. Persoalan Timor-Leste tampaknya telah terjawab.

Sekarang Timor-Leste adalah satu Negara yang didirikan dengan dukungan Komunitas Internasional dan telah memulai perjalanan untuk membawa rakyatnya menuju kemakmuran. Jadi, apakah orang bisa menganggap bahwa persoalan Timor-Leste telah diselesaikan? Jawabannya, sayangnya, adalah tidak. Masih ada masalah-masalah yang belum terselesaikan, yaitu hak korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sepanjang masa pendudukan.

Kita semua mengetahui komisi-komisi penyelidikan telah dibentuk untuk menyelesaikan masalah ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Pemerintah Indonesia masing-masing membentuk komisinya sendiri setelah referendum, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) dibentuk oleh pemerintah Timor-Leste, dan pemerintah kedua Negara Indonesia dan Timor-Leste juga melakukan upaya bersama dalam bentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Semua yang disebutkan di atas telah mencapai kesimpulan bahwa kejahatan terhadap umat manusia telah dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia sebelum hingga sesudah referendum 1999. Kejahatan-kejahatan berat ini belum pernah diselesaikan secara adil dengan mengikuti standar internasional. Pengadilan Ad Hoc Hak Asasi Manusia di Jakarta serta Panel Khusus PBB di Pengadilan Distrik Dili gagal memberikan keadilan.

Kebenaran telah diungkapkan dan tidak ada pihak yang membantahnya, tetapi ada kegagalan untuk menegakkan keadilan berdasarkan kebenaran tersebut. Kepentingan politik kedua pemerintah, Indonesia dan Timor-Leste, serta pemain-pemain besar dalam masalah ini seperti Amerika Serikat dan Australia, menghalangi upaya untuk menegakkan keadilan. Dalam hal CAVR dan KKP misalnya, kedua komisi telah menghasilkan laporan yang disambut dengan dingin seperti reaksi awal terhadap Stolen Generation Report di Australia ini.

Di Timor-Leste, parlemen terus-menerus menunda membahas dan mengakui laporan CAVR dan KKP. Di Indonesia, meskipun Presiden menerima temuan-temuan laporan KKP, hanya sedikit tindak lanjut dan penyebaran laporan yang telah dilakukan. Tidak banyak orang di Indonesia yang mengetahui kedua dokumen tersebut dan bobotnya. Laporan CAVR yang berisi uraian yang lebih menyeluruh mengenai kejahatan-kejahatan yang dilakukan mulai tahun 1975 sampai dengan 1999 tidak pernah diterima dengan resmi oleh Indonesia. Seolah-olah kedua Negara memutuskan bahwa setelah kebenaran mengenai kejahatan-kejahatan yang mengerikan itu diungkapkan, rakyat, termasuk para korban, harus menerima saja dan menjalani hidup mereka tanpa mengharapkan tindakan yang adil untuk kejahatan-kejahatan tersebut.

Dari sudut pandang Indonesia, sikap untuk memaafkan dan melupakan kejahatan masa lalu telah diambil tidak hanya berkaitan dengan Timor-Leste. Ada daftar panjang pelanggaran berat hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim militer Soeharto, mulai dari pembantaian 1965-1966 hingga kerusuhan 1998, di seluruh wilayah Negara, dari Papua sampai Aceh. Para pelaku mendapatkan kekebalan hukum dan bahkan tetap menduduki jabatan-jabatan negara. Sebagian dari mereka menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum terakhir. Dalam keadaan itu harapan untuk mencapai keadilan bagi jutaan korban pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia masih jauh. Pengorbanan korban terus berlanjut.

Reformasi 1998 awalnya memberi harapan bahwa Indonesia akan bisa menyelesaikan berbagai kejahatan masa lalu dengan cara yang adil. Yaitu dalam kerangka politik baru, yaitu demokrasi, upaya untuk memajukan dan melindungi hak asasi manusia bisa diwujudkan. Tetapi, tiga Pemilihan Umum sudah dilakukan, demokrasi Indonesia tetap bersifat prosedural saja. Sementara benar bahwa rakyat Indonesia mendapatkan kebebasan sipil yang besar, tetapi demokrasi sejati bukanlah semata-mata kebebasan sipil. Demokrasi sejati mensyaratkan antara lain kekuasaan hukum, penundukan militer pada supremasi sipil, serta transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah yang dipilih melalui pemilihan umum. Dalam semua aspek yang disebutkan di atas, keadaannya masih buruk. Secara substantif, Indonesia masih jauh dari menerapkan dan menegakkan demokrasi berdasarkan hak asasi manusia.

Defisit dalam demokrasi di Indonesia ini harus diatasi sebelum Negara bisa memenuhi kewajibannnya untuk memajukan, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia secara efektif, untuk rakyatnya sendiri dan juga untuk korban-korban pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Leste.

Apa yang harus dilakukan sementara menunggu defisit tersebut dibalikkan? Adalah kewajiban Komunitas Internasional untuk terus mendorong keadilan bagi korban-korban pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Leste. Tanggungjawab atas kejahatan internasional adalah tanggungjawab seluruh warga dunia . Dilakukannya kejahatan internasional merupakan ancaman terhadap landasan bersama umat manusia. Inilah yang terjadi ketika kejahatan-kejahatan dilakukan bukan hanya oleh Pelaku Negara, tetapi juga dibiarkan oleh Komunitas Internasional. Dalam laporan CAVR, misalnya, ada satu bagian yang menguraikan bagaimana pemerintah Australia memilih untuk mendiamkannya ketika sebagian dari kejahatan tak terkatakan ini sedang dilakukan pada masa pendudukan Indonesia. Kita harus belajar dari masa lalu ini dan tidak mengulangi pilihan tidak bertindak ini dalam hal penegakan keadilan bagi korban-korban yang diakibatkan oleh pembiaran tersebut.

Kita diilhami oleh perjuangan rakyat pribumi di Australia, dan orang-orang yang bergiat dalam solidaritas dengan mereka, berjuang untuk pengakuan resmi dan permintaan maaf dari pemerintah Australia. Kami paham bahwa ini adalah perjuangan yang amat sangat sulit, karena temuan-temuan dan rekomendasi-rekomendasi suatu laporan resmi mengenai Stolen Generation diabaikan selama lebih dari sepuluh tahun oleh pemerintah. Tetapi rakyat Australia, pribumi dan bukan pribumi bersama-sama, melakukan gerakan dari bawah untuk mengatakan “maaf” mengakui bahwa penculikan anak-anak Aborigine dari keluarga-keluarga mereka adalah satu tindakan genosida. Ini memperlihatkan bahwa tekanan kolektif dan terus-menerus rakyat pada akhirnya akan menghasilan perubahan. Jenis perjuangan dan tekanan pada tingkat nasional dan internasional ini juga yang diperlukan oleh korban-korban pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Leste dan tempat-tempat lain di dunia agar mereka bisa mendapatkan keadilan. Inilah yang diperlukan untuk membangun jembatan menuju masa depan yang lebih baik di dalam negeri dan di dunia yang saling terkait ini.

Jadi, adalah tanggungajawab kita, di Indonesia dan di Australia, untuk belajar lebih banyak mengenai apa yang telah terjadi di Timor-Leste, membaca laporan CAVR dan KKP, dan mendesak pemerintah-pemerintah kita, masyarakat-masyarakat kita untuk tidak cuci tangan dari apa yang telah terjadi di masa lalu. Kekebalan hukum menghasilkan kekerasan dan kekejaman baru, karena para pelakunya tetap tak dihukum dan tidak menyesali perbuatan jahatnya. Adalah suatu kesalahan besar membiarkan ribuan korban menunggu tanpa batas waktu untuk mendapatkan keadilan, dan tidak melakukan upaya yang terbaik untuk membantu mereka mendapatkannya adalah kesalahan yang mengerikan di dalam masyarakat yang beradab.

Mematahkan kekebalan hukum dan memberikan keadilan kepada korban, dengan membentuk Pengadilan Internasional. Saat ini adalah saat bagi kita untuk membayar hutang kepada Rakyat Timor-Leste, khususnya para korban, untuk menjamin bahwa pada akhirnya, keadilan dan keadamaian berjalan beriringan di tanah Timor-Leste.

29 Agustus 2009
)* Asmara Nababan, Ketua Dewan Direktur DEMOS (Pusat Pengkajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia), Jakarta. Pidato Asmara Nababan di Concert at Federation Square, Melbourne, untuk merayakan ulang tahun ke-10 Referendum Timor-Leste. Oleh Titi Supardi pada 02 November 2010 jam 4:21. http://www.facebook.com/note.php note_id=448808188423&id=741593419

Sem comentários: